Bandung serta Musik dalam Medium Raga, Interaksi Utuh Pasar dengan Penikmat Kaset, CD, serta Piringan Hitam

Banyak metode buat menikmati musik, diawali dengan metode mendengarkannya lewat kaset, CD, ataupun piringan gelap. Hendak namun, belum lama ini banyak orang yang memilah memakai layanan streaming musik secara online di bermacam platform yang ada. Sebut saja semacam Spotify, Joox, ataupun Youtube. Bisa jadi telah sedikit orang yang mencermati musik lewat media konvensional semacam radio, CD player ataupun turntable/ gramafone.

Di balik terus berkembangnya era, terdapat sebagian orang yang senantiasa menikmati serta mencermati musik lewat media- media konvensional.

Perihal itu pula mempengaruhi terhadap sebagian usaha yang sediakan bermacam berbagai kaset, CD, serta piringan gelap sisa di bermacam tempat di Bandung.

Cerita dari Cihapit, Cikapundung, serta Baltos


Senin 20 Januari 2020, Benak Rakyat menghadiri salah satu tempat yang semenjak tahun 1980- an menyedikan bermacam kaset, CD, serta piringan gelap di Jalur Cihapit, Kota Bandung.

Jejen ialah owner lapak kaset sisa di Jalur Cihapit. Ia ialah pelapak generasi kedua sehabis bapaknya. Si bapak mengelola toko tersebut semenjak 1980- an serta Jejen melanjutkan usaha tersebut semenjak 2008.

Bandung Musik


Bagi ia, pemasukan usahanya menyusut semenjak timbulnya produk musik dalam format digital MP3. Usahanya bisa terus bertahan sebab memanglah terdapat saja orang ataupun kolektor yang memanglah mengoleksi ataupun mencermati musik lewat media konvensional.

Benda yang Jejen miliki umumnya berasal dari orang yang langsung menjual koleksinya. Jejen kerap menjajaki pameran- pameran rilisan raga yang biasa diadakan para pegiat usaha rilisan raga.“ Sebenernya yang mempengaruhi dahulu merupakan sebab terdapatnya MP3, cukup agak mempengaruhi. Saat ini spotify pula mempengaruhi,” kata ia.“ Bisnis ini ramainya sekira tahun 1990- an,” ucap Jejen.

Tidak hanya Jejen, terdapat pula Abah Rudi yang Benak Rakyat temui Selasa 21 Januari 2020. Abah Rudi ialah penjual kaset, CD, serta piringan gelap sisa di kawasan Pasar Cikapundung, Kota Bandung. Abah Rudi berangkat dari seseorang kolektor. Pada kesimpulannya, ia berupaya jadi penjual kaset, CD, serta piringan gelap sisa sekira 3 tahun kemudian. Dia menarangkan, tokonya lebih banyak menawarkan piringan gelap mulai dari harga Rp 85. 000 sebaliknya kaset Rp 15. 000.

Tokonya berkonsentrasi pada penjualan piringan gelap yang berasal dari musisi Indonesia masa 1960- 1980- an. Tetapi, terdapat pula benda lain dari musisi luar negara. Sebab bermula dari seseorang kolektor, Abah Rudi berkata, terdapat sebagian benda pribadinya yang jadi benda dagangan di tokonya. Dia pula lumayan aktif menjajaki pameran- pameran rilisan raga hingga ke Jakarta.

“ Tadinya aku mengoleksi sebab hobi, memodali benda yang semula merupakan koleksi kan lebih mahal. Benda yang aku dahulu asal beli, aku jual lagi di mari, beli lagi( kaset) yang baru pula masih( dicoba),” kata ia. Terpaut banyaknya layanan streaming musik dikala ini, Abah Rudi tidak takut dengan laju bisnisnya. Bagi ia, terdapat pangsa pasar tertentu buat rilisan raga yang dia jual.

Dengan tenang serta satai, Abah Rudi menarangkan kalau walaupun banyak orang memilah mencermati musik lewat layanan streaming online, terdapat sensasi berbeda kala memakai media konvensional.

“ Sesungguhnya, jika aku pikir soal pengaruh, sah- sah saja. Jika orang yang telah gemar dengan rilisan raga, hendak senantiasa mencari rilisan raga,” kata ia.“ Sebab pertumbuhan era, orang mau suatu yang sederhana sehingga mereka menaruh koleksi di spotify ataupun di hp supaya mereka senantiasa dapat nikmati,” kata ia.

“ Pada intinya, mereka senantiasa penikmat musik. Anak era saat ini tahunya menikmati musik dari platform digital lebih gampang. Tetapi, untuk orang yang hobi dengan rilisan raga, mereka hendak senantiasa mempertahankannya walaupun keseharian mereka dengar( dari layanan streaming online) sebab banyak aktivitas serta lain- lain,” tuturnya.“ Tetapi dikala mereka memiliki waktu senggang, mereka hendak senantiasa mencermati dari rilisan raga,” ucap Abah Rudi kepada Benak Rakyat. Di Balubur Town Square( Baltos) Kota Bandung, Nunu Nugraha ialah pengusaha kaset, CD, serta piringan gelap baru serta sisa.

Nunu pula awal mulanya seseorang kolektor. Ia mulai membuka usahanya di Baltos semenjak 2010. Dia sediakan kaset, CD, serta piringan gelap. Kaset dijual dengan harga Rp 15. 000. Tetapi, terdapat pula kaset yang dijual sampai ratusan ribu. Sedangkan piringan gelap dijual Rp 50. 000, namun terdapat pula yang dibanderol sampai jutaan rupiah. Bagi Nunu, tipe medium rekaman yang dicari konsumen tidak dapat diprediksi dalam 2 tahun belum lama ini.

2 tahun kemudian, piringan gelap banyak dicari sebaliknya belum lama ini lebih banyak anak muda yang mencari kaset.“ Tahun ini kaset. trennya tiap tahun berganti. Pada 2015- 2017 piringan gelap jadi tren. Tahun 2018 hingga saat ini ini kaset lebih banyak dicari kanak- kanak muda,” kata Nunu. Dia memperhitungkan, rilisan raga dapat jadi investasi dalam sebagian tahun mendatang. Banyak penikmatnya yang siuman hendak perihal itu.

“ Kami tidak sempat takut, sebab media- media ini terdapat nilai investasinya. Jika kita simpan saat ini, nanti bisa jadi 10 tahun ke depan dapat lebih mahal sebab telah tidak terdapat lagi,” kata Nunu.

Sinergi komunitas serta pedagang


Rabu 22 Desember 2020, pemerhati musik Idhar Resmadi menarangkan kalau Bandung memiliki jejak historis ataupun tradisi panjang terpaut musik. Bandung diketahui bagaikan kota yang memiliki banyak penjual rilisan raga sisa. Dia menyebut sebagian tempat semacam Jalur Cihapit, Pasar Cikapundung, Jalur Dipatiukur, serta Baltos.

Bagi ia, Bandung memilki tradisi yang kokoh soal penjualan rilisan raga sisa semenjak dahulu. Kelangsungan para penjual kaset, CD, serta piringan gelap sisa dapat dibilang nyaman sebab para orang dagang telah kerap menggelar bazar yang jadi pertemuan antarpenjual yang dapat diselenggarakan sampai 4 kali setahun. Idhar Resmadi mengatakan kalau terdapat satu pekerjaan rumah yang dipunyai para orang dagang ialah mengemas bazar tersebut supaya tidak monoton dari tahun ke tahun.

“ Perihal yang jadi perkara adalah

mengemas ajang itu supaya tidak monoton. Aku perhatikan, dari tahun ke tahun, tidak terdapat inovasi dari ajang- ajang para pelakap kaset tersebut,” kata ia.“ Di di satu sisi, dikala ini ruang- ruang yang buat memfasilitasi para orang dagang telah banyak” kata Idhar Resmadi kepada Benak Rakyat.

Soal mengapa masih terdapat musisi yang masih merilis karya dalam medium raga, bagi ia, untuk sebagian musisi terdapat kepuasan tertentu dengan merilis karya dalam medium raga sebab sasaran pasarnya masih terdapat.

“ Rata- rata, memanglah rilisan raga ditemui pada momentum- momentum semacam semacam record store day. Saat ini tidak agak tidak sering rilisan kaset ditemkan pada momen- momen biasa,” ucapnya.

“ Saat ini musisi wajib pintar memikirkan metode bagimana jalan distribusiannya. Salah satu triknya merupakan pemasaran berbasis komunitas ataupun dijual di lapak penjual ririsan raga. Saat ini tidak terdapat toko rekaman yang baru sehingga musisi wajib menggunakan komunitas,” kata ia.

Kepuasan serta nostalgia untuk musisi


Salah seseorang musisi yang baru menghasilkan rilisan raga berbentuk kaset pada 28 Desember 2019 kemudian, Mawang beralasan, ia menelurkan karya dalam medium raga sebab terdapat kepuasaan serta terdapat bentuk nyata karyanya. Hendak namun, ia pula memakai platform digital buat memperluas karyanya. Soal distribusi, ia tidak menitipkan ke industri rekaman serta berupaya menjualnya secara mandiri.

Rilisan raga, bagi Mawang, merupakan perihal ekslusif untuk pemiliknya serta terdapat kepuasan tertentu dikala menikmatinya. Soal perilisan raga yang Mawang jalani, banyak orang yang mengapresiasi langkah tersebut sebab perilisan raga terkategori unik dikala ini.

Bagi ia, rilisan raga dapat jadi koleksi serta artefak untuk individu- individu yang menikmatinya.“ Terdapat nilai historis dalam kaset- kaset yang membuat kita merasakan kembali masa- masa kejayaannya. Harapan aku, kaset- kaset pita saat ini terus menjadi digemari lagi,” kata Mawang.